Bujubuneg, nyari tukang
tambal ban di desa tamiajeng ternyata susah buanget. 2 Tukang tambal ban yang
di rekomendasikan warga sekitar sudah saya lewati begitu saja di karenakan
Tutup. Terpaksa harus jalan lagi, lagi dan lagi, sambil terus mendorong sepeda motor
Honda Vario yang ban dalamnya saja mulai terlihat terburai, keluar dari peleg
dan ban luarnya. Sepeda motor tersebut sebenanrnya bukan punya saya, ini punya teman. Di karenakan saya ini orangnya
baik hati dan tidak sombong, akhirnya sayalah yang bertugas dengan rela hati
dan ikhlas untuk mencarikan tukang tambal ban di desa tamiajeng.
Jadi kenapa sepedanya
bisa Bocor ?? hal ini di mulai dari teman saya, febri yang dengan amazingnya
membonceng saya untuk mengambil botol air minum kemasan yang tertinggal. Lah
trus bagaimana bisa bocor , kalau hanya di buat boncengan doang…??. Boncengannya
tidak jadi soal, yang jadi persoalan adalah jalan yang kita lalui adalah jalan
berbatu yang tajam, bergelombang dan naik turun. Botol Minuman tidak di dapat, Bocorpun di
dapat, alhasil Misi Gagal, dan hasilnya saya mendorong sepedanya untuk
mencarikan tukang tambal ban. iya kalau dekat, ini mah, bukan lagi jauh, tapi
juuuaaaaaauuuhh. Ban dalam sepeda motor gempor, kakiku pun lebih gembor.
Waktu itu menunjukan
sekitar pukul 4 sore, di desa tamiajeng. Sebelum saya memutuskan untuk
mendorong sepeda motor yang bocor itu, terlebih dulu saya Tanya Mak Ti, si
empunya warung yang saya singgahi.
“Mak, Tambal ban cidek kene nang endi..??” tanyaku.
“Mak, Tambal ban cidek kene nang endi..??” tanyaku.
“ikuloh, cidek pertigaan, mudun titik.” balas mak
ti, sambil membersikan gelas.
“Y owes, mak suwun” jawabku.
Dengan tidak yakin atas jawaban mak ti akupun,
mencoba bertanya pada anaknya yang berumur sekitar 10 Tahun.
Sambil duduk ,menghampiri anaknya saya bertanya “Dek,
tukang tambal adoh ta, teko kene”.
“Yo lumayan” balasnya.
“Waduh perjuangan iki..” batinku
Sesaat kemudian setelah minum segelas teh saya pun
berangkat, dengan semangatnya.
Di perjalanansaya
berjumpa, dengan warga sekitar yang baru pulang dari kebunnya. Bapak tersebut
pun dengan senang hati mau mengantar saya ke tempat tukang tambal ban, yang
kebetulan searah dengan rumahnya. Dengan sangat ramah bapak tersebut, menjawab
semua pertanyaan yang saya tanyakan tentang lingkup masyarakat desa tamiajeng.
tak terasa, 15 Menit sudah saya berjalan menuruni jalanan yang beraspal ini
dengan bapak tersebut menjadi teman ngobrol saya. Dan sampailah saya di depan
tukang tambal yang di rekomendasikan oleh Mak Ti. Terasa sangat menyakitkan
memang, berjalan selama 15 menit, mendorong sepeda motor bocor yang beratnya 5
Kali Lipat berat saya, dengan kontur jalan beraspal yang naik turun, dan
ternyata tempat tambal bannya tutup.
Tapi
tenang, tempat tambal ban pertama tutup, masih ada tukang tambal ban lagi yang
menanti di depan sana, itupun atas rekomendasi dari warga di sekitar tempat
tambal ban pertama. Akhirnya saya pun tetap melanjutkan perjalanan dengan masih
sangat bersemangat. Akhirnya sampai juga di depan rumah penjual pisang, yang di
sampingnya terletak rumah tukang tambal ban. terlihat tabung gasnya yang
berwarna orange besar terpampang di depan rumahnya, dengan ban-ban dalam bekas
yang menggantung di penyangga genteng depan rumahnya.
“Pak, tambal ban” ucapku di depan rumahnya.
“Pak tambal, ban” ucapku sedikit lebih nyaring.
Pak, tambal, ban” kali ini aku berteriak.
Suara ibu-ibu tua samping rumah tukang tambal bang
menggagetkanku
“Lapo leh..?? tambal ban ta..??” seru si ibu.
“njeh, bu. Bocor niki sepeda kulo” balasku.
“Waduh. Leh, uwong’e sing nambal ora enek ning umah, coba sampeyan mlaku mane, engkok onok pertigaan sampeyan ngetan titik, ning kunu onok tambal ban Sis ” balas si ibu tua.
“Waduh. Leh, uwong’e sing nambal ora enek ning umah, coba sampeyan mlaku mane, engkok onok pertigaan sampeyan ngetan titik, ning kunu onok tambal ban Sis ” balas si ibu tua.
Dengan tersenyum saya pun berkata “Nje Bu, monggo”
“Njeh, monggo” sahut si ibu tua.
“Juamban…Juamban…Juamban…!!.” Gerutuku dalam hati,
sambil tetap mendorong sepeda motor.
Setelah
15 menit, mendorong, bertanya sana sini tentang keberadaan si tukang tambal ban
sis, akhirnya sampai juga pada tempat tujuan. Tapi yang paling membuat saya
terpukau adalah warga sekitar yang menyaksikan saya mendorong sepeda motor,
begitu memperhatikan keadaan yang saya dam begitu akrabnya kita, saling sahut
menyahut, dan mengbrol walaupun itu terjadi hanya karena saling berpapasan
saja. Saya seperti merasa sudah menjadi warga di sana, karena begitu akrab dan
santainya kita saling berbalas kata.
Di tambal
ban tersebut, teryata ban dalam sepeda motor ini, harus diganti, karena tidak
memungkinan lagi untuk di tambal. Tak sampai 15 menit, ban dalampun sudah
terpasang dengan rapi. Dengan membayar Rp 30.000,- yang termasuk harga ban dan
ongkos pasang ban, saya pun tak lupa mengucapkan banyak terima kasih pada
tukang tambal ban, yang sore itu untung belum tutup. Setelah semua beres,
sayapun kembali pada teman-teman saya yang lagi bersantai di warung Mak Ti yang
disitu di dapati Gusty sedang merias wajahnya, febri yang masih tertidur pulas,
vivi yang juga masih merapikan tasnya, mas eko yang sedang sibuk dengan
handphone, serta Puteri yang sedang asyik berbaring di dipan warung. Tanpa mereka
tahu, betapa sengsaranya saya, dan hancurnya perasaan ini. “hahahahahahahahahha……”
0 komentar:
Posting Komentar